Senin, 09 Mei 2011

Peranan sektor luar negeri

Peranan sektor luar negeri


IMF

Dana Moneter Internasional (IMF/ International Monetary Fund ) Sebuah lembaga keuangan otonomi internasional yang berasal dari Konferensi Bretton Woods 1944. Tujuan utamanya adalah untuk mengatur sistem pertukaran internasional moneter, yang juga berasal dari konferensi itu, tetapi sejak itu telah diubah. Secara khusus, salah satu tugas utama IMF adalah untuk mengendalikan fluktuasi nilai tukar mata uang dunia dalam upaya untuk mengurangi saldo parah masalah pembayaran.
Salah satu misinya IMF adalah membantu negara-negara yang mengalami kesulitan ekonomi yang serius, dan sebagai imbalannya, negara tersebut diwajibkan melakukan kebijakan-kebijakan tertentu, misalnya privatisasi badan usaha milik negara.
Saat ini anggota IMF berjumlah 187 negara, dimana Negara kecil di Asia Fasifik yaitu Tuvalua adalah negara yang baru bergabung untuk terjadinya kerjasama multilateral dan internasional ditengah dinamika ekonomi global. Adapun negara-negara anggota PBB, yang tidak menjadi anggota IMF adalah Korea Utara, Kuba, Liechtenstein, Andorra, Monako, Tuvalu dan Nauru. Adanya perdagangan internasional dan integrasi pasar internasional menyebabkan adanya hubungan erat antara perekonomian suatu negara terhadap negara lain, sehingga apabila terjadi krisis ekonomi suatu negara cenderung menular kenegara lain karena terintegrasinya perdagangan dan saling ketergantungan.
Indonesia pada tahun 1953 telah menjadi anggota IMF dan Bank Dunia yang disyahkan melalui Undang-undang No. 5 Tahun 1954 tertanggal 13 Januari 1954. Selama pemerintahan Soekarno saat mengalami krisis tahun 1950-an dan tahun 1960-an Amerika Serikat dan Bank Dunia melobi untuk menawarkan pinjaman besar kepada Indonesia.Terlebih setelah konferensi Jenewa pada November 1967 dan pemerintah Soeharto telah mengesahkan UU 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Kontrol terhadap pemerintahan Indonesia yang dilakukan oleh IMF dan Bank Dunia dapat dilihat melalui anggota negara Paris Club, Inter Govermental Group on Indonesia (IGGI) yang diganti menjadi Consultative Group for Indonesia (CGI )yaitu badan yang beranggotakan Amerika serikat, Jepang, Jerman Barat, Inggris, Belanda, Italia, Perancis, Kanada, dan Australia, serta IMF dan Bank Dunia yang memperkirakan besar bantuan/ pinjaman untuk Indonesia. Antara 1967 dan 1967 IMF dan Bank Dunia telah membuat perekonomian didekte oleh pemodal asing (khususnya Amerika Serikat) melalui
Syarat dan nasehat IMF terhadap Indonesia tidak memiliki keberhasilan karena pada saat itu tahun 2002 pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 3,66%, dimana penyerapan angkatan kerja baru hanya 1,7 juta orang dari 2,5 juta orang angkatan kerja baru. Hasil penelitian Johnson dan Schaefer sejak tahun 1965-1995 menunjukkan, bahwa perekonomian 48 dari 89 negara berkembang yang menerima bantuan IMF tidak menjadi lebih maju. Bahkan, 32 dari 48 negara tersebut justru menjadi lebih miskin.
IMF terlihat adanya kesan memaksakan kepada pemerintah Indonesia untuk memangkas pengeluaran pemerintah untuk sektor sosial (subsidi), melakukan deregulasi ekonomi, dan melakukan privatisasi perusahaan milik negara. Peraturan ini menyebabkan berkurangnya subsidi pemerintah di bidang pendidikan, kesehatan, pangan dan perumahan, listrik, tari telefon dan bahan bakar minyak. Campur tangan IMF terhadap kebijakan ekonomi Indonesia, bahkan sampai pada kebijakan politik, seperti kasus cengkeh dan tari nol persen untuk impor beras, skandal bank Bali, audit Pertamina, RUU anti korupsi, dan penentuan pendapat di Timor Timur, revisi APBN, pengantian Menko dan BPPN, serta amandemen undang-undang BI. Dilain pihak privatisasi memungkinkan BUMN dimiliki oleh pihak swasta sehingga semua sektor memungkinkan dimasuki investor asing. Kebijakan IMF di sektor makro ekonomi ini berdampak pada bertambahnya tingkat kemiskinan karena penetapan upah rendah, lahirnya kurs mengambang bebas bulan oktober 1997 (mengantikan managing floating sejak Oktober 1978) yang memberikan resiko karena pemerintah tidak dapat memprediksi kebijakan fiskal dan moneternya terhadap mata uang Rupiah, serta berkembangnya spekulan dalam kegiatan perdagangan valas karena untuk mendapatkan untung. Kebijakan moneter IMF yang diberikan bisa menyebabkan tidak bergeraknya sektor riil karena tingkat suku bunga yang tinggi, juga belum tentu dapat menguragi capital outlow. Kebijakan IMF untuk menekan inflasi dipertanyakan keberhasilannya di Indonesia, karena inflasi tidak hanya dipengaruhi kebijakan moneter tetapi karena adanya praktek monopoli dan oligopoli, permasalahan distribusi dan biaya transaksi karena pembelian input dari luar negeri (import inflation). Sedangkan aliran capital outflow juga dipengaruhi oleh stabilitas sosial, keamanan dan politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar